[ HTL ] Chapter 9: “Jalan Demonic Yang Kubayangkan”
by cheeerishmeAbsolute Regression Chapter 9
Keesokan harinya, Lee Ahn datang padaku dengan ekspresi resah.
“Bagaimana saya pulang kemarin?”
“Kamu menggendongku pulang. Kurasa kamu tidak ingat itu.”
Mendengar itu, pipi Lee Ahn memerah.
“Jangan bohong. Saya tidak semabuk itu. Apa saya berat sekali? Maafkan saya, tuan muda.”
“Bohong kalau kubilang kamu ringan. Tapi kamu tidak terlalu berat sampai kamu perlu minta maaf. Lihat lengan ini!”
“Oh, lengan anda jadi lebih kurus, ya?”
“Lihat baik-baik otot yang menonjol ini!”
Setelah saling bercanda begitu, Lee Ahn menundukkan kepalanya.
“Terima kasih, tuan muda.”
“Ayo minum lagi kapan-kapan.”
“Iya, tuan muda.”
Saat dia hampir berbalik, dia bertanya lagi.
“Kalau saya ada berkata yang salah, tolong maafkan saya. Sejujurnya, saya tidak ingat yang saya katakan.”
“Jangan cemas, kamu tidak melakukan kesalahan apapun. Oh, kalaupun kamu membuat kesalahan, gunakan hak pengampunan.”
“Hak pengampunan? Apa itu?”
“Itu hak untuk dimaafkan meskipun kamu melakukan kesalahan ada sesuatu yang buruk padaku.”
“Anda memberi itu pada saya? Saya tidak ingat pernah menerimanya.”
Aku mengulurkan tanganku padanya.
“Jabat tangan.”
Lee Ahn menggenggam tanganku dengan tangannya yang besar.
“Nah, sudah kuberikan sekarang.”
“Kalau anda akan memberinya pada saya, kenapa tidak sepuluh? Saya akan mengikuti anda sepanjang hidup, bukankah satu saja terlalu sedikit?”
“Tidak! Satu saja. Jadi gunakan dengan bijak!”
“Baik, tuan muda!”
Matanya menghilang ke dalam pipinya saat dia tersenyum ceria.
‘Dalam hidup, kalau ada seseorang yang perlu dimaafkan, itu adalah aku, bukan kamu. Kamu harusnya memberiku sekitar lima puluh hak pengampunan…’
***
Malam itu, aku duduk sendiri, melatih emisi qi.Saat aku mendeteksi tiga tempat sekaligus, aku merasakan keberadaan seseorang di sebelah kiriku.
Belakangan ini, aku sangat menikmati proses mencari tahu orang macam apa seseorang melalui qi. Ketika aku menemukan seseorang dengan cara membentangkan qi ku, aku mulai memindai mereka dari ujung kepala hingga ujung kaki: setinggi apa mereka, senjata apa yang mereka gunakan, dan level seni bela diri mereka.
Saat aku ingin mengamati orang ini dengan cara yang sama.
Orang itu masuk ke dalam.
Berpikir itu adalah kebetulan, aku mengirim qi ku kepadanya lagi. Tapi orang itu bergerak ke sisi yang lain lagi, menghindari qi ku.
‘Mungkinkah dia sengaja menghindarinya?’
Qi yang tipis dan samar ini adalah sesuatu yang seharusnya tidak bisa dideteksi.
Namun, orang itu mulai menghindar seakan dia bisa merasakan qi ku.
Siapa sebenarnya dia?
Aku penasaran. Aku terus memancarkan qi ku dan keluar dari kamarku.
Aku berlatih memancarkan qi sambil bergerak. Meskipun itu memerlukan kekuatan mental beberapa kali lebih banyak daripada melakukannya sambil diam, dalam pertarungan nyata, seseorang akan perlu memancarkan qi sambil bergerak dan bertarung.
Aku merasakan orang itu mundur. Aku mengejarnya, hampir menyusul tapi tidak cukup.
Pada akhirnya, aku sampai ke paviliun di dalam halaman bagian dalam.
Begitu aku melihat orang yang berdiri di sana, tanpa sadar aku langsung menghela nafas lega.
“Ayah!”
Orang yang menuntunku kesini dengan qi ku tidak lain adalah ayahku.
“Sudah kuduga. Tadinya aku cemas orang lain bisa merasakan qi ku.”
“Qi macam apa yang kau bicarakan? Bahkan anjing yang tidur di bawah dinding itu pasti bisa merasakannya.”
“Anjing punya insting yang bagus, kan? Tapi apa yang membawa ayah ke kamarku?”
“Aku hanya lewat.”
Meski dia bilang begitu, jelas sekali dia datang untuk melihatku.
“Untuk bertemu secara kebetulan begini, sepertinya kita memang ditakdirkan untuk terhubung.”
“Sudah cukup omong kosongnya.”
“Siap, pak!”
Aku menutup mulutku dan diam-diam bergabung melihat langit malam bersama ayah.
Setelah beberapa saat, aku bertanya.
“Kapan ayah akan memutuskan tentang suksesi?”
“Dalam seratus tahun. Kau masih jauh.”
“Buat itu jadi seratus hari. Kurasa aku siap.”
“Kalau kau siap, Blood Heaven Sword Demon tidak akan datang mencarimu.”
“Bagaimana ayah tahu?”
Itu adalah pertemuan di antara hanya kami berdua, namun ayah tahu. Dengan kata lain, ayah mengawasiku. Yah, dia tahu aku terkena racun pemecah energi.
“Tepat setelah bertemu denganmu, Blood Heaven Sword Demon datang padaku.”
“Apa katanya?”
“Dia mau aku menghukummu.”
“Apa?”
Aku terkejut dengan kata-kata tak terduga itu. Apa Blood Heaven Sword Demon benar-benar pergi ke ayahku dan minta agar aku dihukum?
“Itu mengejutkan. Dia bukan tipe orang yang akan datang padaku dengan permintaan begitu hanya karena muridnya mati.”
“Menurut ayah kenapa dia melakukan itu?”
Berpura-pura tidak tahu, aku menebak tujuan Blood Heaven Sword Demon sebenarnya. Dia ingin menguji hubungan antara aku dan ayah. Untuk melihat apa ayah akan benar-benar menghukumku, dan kalau iya, hukuman macam apa yang akan dia beri. Dia ingin tahu apa ayah sudah menganggapku penerusnya.
“Jadi, aku memutuskan untuk menghukummu.”
“Tidak ada alasan untuk menghukumku. Murid itu pantas mati.”
“Alasan bisa dibuat.”
Aku menghunus pedangku dan menggambar garis panjang di tanah.
Lalu aku menandai titik sekitar sepuluh langkah jauhnya dan berkata,
“Blood Heaven Sword Demon bilang bahwa panjang dari sisi ini mewakili pendapat ayah tentang dia. Inikah alasan ayah?”
Bukannya menjawab, ayah bertanya padaku tentang percakapan kami di lahan berburu.
“Bukankah kau bertanya siapa yang paling kupercayai di antara para Demonic Supremes?”
“Iya.”
Sekarang ayah memberiku jawabannya.
“Aku tidak percaya siapapun.”
Aku mengerti. Jawaban ini juga mengungkapkan bahwa garis yang digambar oleh Blood Heaven Sword Demon itu salah.
“Kau di sisi siapa? Apa kau percaya pada orang atau tidak?”
“Tergantung orangnya.”
“Bagaimana kau tahu orang macam apa mereka?”
“Kita bisa tahu saat menghabiskan waktu dengan mereka, kan?”
“Itu pemikiran bodoh. Hati manusia adalah sesuatu yang tidak bisa kau ketahui secara pasti. Tidak peduli sejujur apa seseorang terlihat saat berada di sisimu, jangan pernah berpikir kau benar-benar mengenal mereka.”
Tiba-tiba, aku teringat Lee Ahn. Kukira aku kenal dia dengan baik, tapi aku terus menemukan sisi baru darinya, persis seperti prinsip ini.
“Aku akan mengingat itu.”
“Kau bilang kita perlu memperketat disiplin di dalam Kultus kita?”
“Iya.”
“Lupakan tentang omong kosong menghapuskan korupsi itu. Beritahu aku pikiranmu dengan jujur.”
“Apa aku benar-benar boleh jujur?”
“Apa kau pernah berbohong padaku?“
“Tidak, tapi jawaban ini mungkin bisa terdengar tidak sopan.”
“Bicaralah.”
“Di suatu titik tertentu… menurutku kita kehilangan Jalan Demonic kita.”
Di bawah mata ayah, ada sebuah kedutan. Itu bukan sesuatu yang seharusnya dikatakan di hadapannya.
“Apa yang kau pikirkan tentang Jalan Demonic?”
“Yang kupikirkan tentang Jalan Demonic adalah…”
Setelah hening sejenak, aku mengungkapkan pikiran yang sudah lama kutahan dalam diam.
“Menurutku itu adalah kepercayaan Kultus kita dalam menjatuhkan kejahatan mutlak.”
Mungkin itu jawaban yang tidak terduga, hingga ayah menoleh padaku dengan mata melebar.
“…Kepercayaan Kultus kita dalam menjatuhkan kejahatan mutlak?”
“Aku tidak berpikir lawan kita adalah sekte ortodoks.”
“Lalu apa?”
“Kejahatan mutlak.”
Tentu saja, yang akan kukatakan takkan mudah diterima oleh ayah. Meski begitu, aku menyampaikan pikiranku padanya dengan tenang.
“Ada kejahatan di dunia ini yang sangat pengecut, licik, dan menakutkan yang tidak bisa ditahan manusia. Itu adalah kejahatan mutlak yang bahkan membuat para demon akan mendecakkan lidah mereka dan mengalihkan pandangan mereka. Menurutku meski kebajikan dan kerja sama yang dijunjung sekte ortodoks mungkin bisa menaklukkan kejahatan kecil, mereka takkan bisa menangani kejahatan mutlak ini. Itu karena sekte ortodoks memiliki sifat pemaaf pada jati diri mereka. Selama mereka menyayangi manusia, bagaimana bisa mereka menghadapi kejahatan yang telah membuang kemanusiaannya dan mengamuk dengan gila?”
Ayahku menatapku. Ini pertama kalinya aku melihat dia sangat fokus pada perkataanku. Mungkin jauh di lubuk hatinya, dia memiliki pemikiran yang sama.
-Bukankah kita kejahatan mutlak itu?
-Tidak, ayah. Kuharap Kultus Heavenly Demon di duniaku bukanlah kejahatan mutlaknya. Aku akan memastikan itu.
Aku melanjutkan pidatoku.
“Aku percaya kita harus menemukan alasan untuk keberadaan kita sebagai entitas satu-satunya di dunia bela diri yang bisa menghapuskan kejahatan yang pengecut dan licik itu dengan lebih jahat dan bengis. Tidak peduli apa kita baik atau jahat. Terkadang dengan wajah baik, terkadang dengan wajah jahat. Ketika kejahatan mutlak yang tidak bisa dihadapi sekte ortodoks berlutut pada kita, bergetar, barulah aku percaya bahwa Jalan Demonic yang sebenarnya telah ditetapkan. Hanya setelah itu dunia bela diri akan benar-benar membungkuk pada keagungan Kultus kita. Saat mereka tidak bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri, mereka akan meminta bantuan kita. Hanya Kultus Heavenly Demon yang bisa menyelamatkan dunia bela diri. Ini yang kupikirkan tentang Jalan Demonic.”
Aku yakin ayahku tidak pernah berpikir, ataupun mendengar, pemikiran seperti ini dalam hidupnya.
Pemikiran ini bukan kupelajari atau kusadari di dalam Kultus. Ini yang kurasakan, setelah berkelana ke seluruh penjuru Dataran Tengah sepanjang hidupku.
“Kalau kita tidak menetapkan Jalan Demonic dengan benar, kita takkan bertahan lama. Agar kita bisa bertahan hidup… kita harus menghukum diri kita sendiri.”
Bahkan ayahku yang ahli dalam menyembunyikan perasaannya, tidak bisa menutupi keterkejutannya saat ini. Dia adalah orang yang akan menghajar wajah seseorang untuk memeriksa apa mereka berbohong. Tapi di momen ini, ayah tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Bahkan kalau sepuluh tinjuan dia lancarkan, tidak akan ada perubahan mengenai cerita yang telah terungkap.
Ayahku tenggelam dalam pikirannya. Meskipun aku sudah hidup lebih lama dari ayah, aku tidak bisa menebak apa yang ada di kepalanya saat ini.
Tapi ada satu hal yang aku yakin.
Meski baru beberapa hari berlalu sejak regresiku, baik ayah dan aku sudah mengubah takdir kami. Kami sudah mulai berpaling ke masa depan yang berbeda.
Akhirnya, ayahku memecahkan keheningan panjang itu.
“Apa ada kesombongan lagi yang tersisa untuk kau tunjukkan?”
“Tidak, tidak hari ini.”
Aku menggaruk kepalaku dan tersenyum kikuk.
“Kurasa aku mengerti kenapa Blood Heaven Sword Demon datang padaku untuk menghukummu.”
“Kenapa?”
Mata penuh percaya diri ayah bersinar terang.
“Dia melihat sesuatu padamu. Makanya dia mencoba mengujimu melalui aku.”
“Sepertinya dia melihat potensiku untuk menjadi penerus.”
“Atau mungkin resiko untuk menghancurkan Kultus kita.”
“Bagaimanapun… tulang belulang tua itu memiliki pencerahan.”
Ayahku yang menatapku dalam-dalam, tiba-tiba berjalan keluar dari paviliun dengan langkah penuh tekad.
“Ikuti aku.”
***
Ayah menuntunku ke bagian terdalam Paviliun Heavenly Demon. Itu adalah tempat yang sangat kutahu dari yang pernah kudengar.
Papan kecil tergantung di atas gua batu.
Gua Heavenly.
Aku terkejut dan berteriak pada ayah.
“Ayah tidak bermaksud berkata aku harus masuk kesana, kan?”
Ini adalah gua latihan yang ditujukan untuk mereka yang merupakan kandidat untuk menjadi Heavenly Demon.
Biasanya, murid atau anak Heavenly Demon masuk saat mereka diuji.
Itu adalah gua latihan yang tidak bisa diremehkan.
Masuk sesuka hati bisa, namun keluar tidak bisa. Kalau seseorang tidak bisa mengatasi cobaannya, mereka takkan pernah keluar. Tingkat kesuksesannya setengah. Faktanya, setengah dari anak Heavenly Demon yang telah memasuki tempat ini kehilangan nyawa mereka.
Karena itu, bahkan kakakku yang berambisi itu tidak membahas tentang memasuki gua ini.
Namun, untuk menjadi Heavenly Demon, itu adalah tempat yang harus dilewati seseorang setidaknya sekali. Semua orang yang menjadi Heavenly Demon telah melewati gua ini. Bisa dibilang, menjadi Heavenly Demon adalah pekerjaan ekstrem.
“Aku juga memasuki tempat ini saat aku seusiamu.”
“Jadi, berapa lama waktu berlalu sampai ayah keluar?”
“Dua bulan.”
“Ya ampun. Ayah ingin aku menghabiskan dua bulan masa mudaku di tempat yang gelap dan lembab ini?”
“Jangan salah. Itu memakan waktuku dua bulan, tapi waktu rata-rata untuk melewatinya adalah tiga tahun.”
Ayahku dinilai memiliki bakat bela diri terbaik di antara para Heavenly Demon sepanjang sejarah. Fakta bahwa aku mewarisi tubuh seniman bela diri surgawi bisa terjadi karena aku memiliki darahnya.
“Ayah, kenapa ayah melakukan ini padaku?”
“Bukankah sudah kukatakan tadi? Aku berniat menghukummu.”
“Bukankah hukuman ini terlalu kejam?”
“Yang Po, yang kau bunuh, akan menghabiskan waktu selamanya di bawah tanah.”
“Dengan sorakan dan tepuk tangan orang-orang yang dia siksa.”
Namun, ayahku sudah memantapkan pikirannya.
Ayah, ayah benar-benar mengirimku ke tempat dimana aku bisa mati? Hanya karena si tua bangka itu, Blood Heaven Sword Demon, bilang padamu untuk menghukum aku?
Tiba-tiba, aku mengingat apa yang ayah katakan saat perburuan mengenai tujuan tersembunyi.
‘Apa ayah tidak peduli kalau putra ayah mati? Atau ayah berharap agar aku keluar jadi lebih kuat?’
Kalau aku tidak bisa selamat, itu adalah hukuman, tapi kalau aku selamat, itu bisa jadi hadiah.
‘Atau ayah mencoba melindungiku dari Blood Heaven Sword Demon dengan mengirimku pergi, seperti jarum yang menusuk ke luar kantong?’
Ayah tak pernah mengungkapkan pikirannya, sehingga mustahil untuk mengerti tujuannya.
Saat ayah meletakkan tangannya di tablet batu di samping gua dan menyuntikkan energi uniknya, pintu batu terbuka.
Thud.
Dengan wajah yang mengatakan untuk berhenti protes dan masuklah ke dalam, aku sudah tidak bisa menolak.
“Baiklah. Aku akan keluar lebih cepat dari ayah.”
Thud.
Selagi pintu batu tertutup, ayah berkata dengan senyumannya yang dingin dan menyebalkan,
“Pastikan kau tidak mati.”
0 Comments